Jumat, 20 Desember 2013

Shalat Arba'in di Masjid Nabawi, Benarkah?

1. PENDAHULUAN.
Di dalam masjid Nabawi, ada sebuah ibadah khusus yang dikenal oleh sebagian jamaah haji, khususnya jamaah haji Indonesia. Ibadah apakah itu? berziarah? atau bersedekah? ibadah itu adalah Shalat Arbain, begitulah orang-orang berkata. Prakteknya adalah seseorang mengerjakan salat wajib lima waktu secara berjamaah di masjid Nabawi selama delapan hari, hingga genap jumlahnya menjadi 40 kali shalat. Benarkah Shalat Arbain itu ? pernahkah Rasulullah menganjurkannya? adakah dalilnya? inilah pertanyaan-pertanyaan yang sering ditanyakan oleh banyak jamaah haji Indonesia, yang mendorong kami untuk menelaah kembali hadis-hadis, membuka kitab-kitab para Ulama, dan semoga bisa dituangkan ke dalam tulisan singkat. Walaupun masalah ini sudah dibahas tuntas oleh para Ulama, akan tetapi tidak ada salahnya apabila kami kumpulkan keterangan itu dan menjadikannya sebuah tulisan yang bisa berguna bagi kami dan orang-orang awam seperti kami. Disamping itu, kami memandang masalah ini cukup penting karena beberapa sebab:
1. Segala ibadah yang kita lakukan harus ada contoh dan petunjuknya dari Rasulullah s.a.w., kalau tidak, maka ibadah kita tidak sah dan tidak diterima. Dan dikhawatirkan Shalat Arbain ini tidak ada petunjuknya dari Nabi.
2. Andaikan ada dalilnya, apakah dalil itu benar-benar valid? apabila sebuah hadis, apakah para perawinya kredibel? apakah sanadnya muttashil? hadis sahih atau daif ? inilah yang harus kita lakukan observasi ulang.
3. Sudah terkenalnya masalah ini dikalangan jamaah haji Indonesia, namun mereka tidak mengetahui dalilnya.
4. Tidak semua negara yang jamaahnya mengenal Shalat Arbain. Sebab inilah yang membuat sebagian orang ragu, mengapa ibadah ini tidak dikenal semua orang muslim?
Pembahasan ini akan difokuskan kedalam beberapa sub pembahasan, sebagai berikut : mencari hadis yang mendemonstrasikan Shalat Arbain, mengadakan takhrij dan dirasat al-asanid akan hadis tersebut, memberikan justifikasi akan hadis tersebut (al-hukm ‘ala al-hadis) dan menyebutkan pendapat para Ulama akan hadis tesebut, dan yang terakhir adalah menguraikan fiqh hadisnya.
Untuk metodologi penulisan, tulisan ini setidaknya menggunakan tiga metode: pertama adalah metode observasi (istiqra’i): dengan cara mengumpulkan data dan informasi sebanyak-banyaknya seputar objek pembahasan. Kedua, metode analisis (tahlili) : yaitu mengupas dan menguraikan data-data yang sudah ada sesuai dengan kapabelitas penulis. Dan ketiga, metode deskripsi (washfi): menggambarkan dan mengangkat realita yang terjadi terkait objek judul yang sedang dibahas.

Kemudian kami beri tulisan ini judul “Studi dan Kritik Hadis Shalat Arbain di Masjid Nabawi” dan membaginya ke dalam beberapa bab :
1. Bab pertama : Pendahuluan, mencakup latar belakang, anilisis masalah, metodologi penulisan dan kontet pembahasan atau abstrak.
2. Bab kedua : Hadis Shalat Arbain, menyebutkan matan dan sanad hadis dari semua jalur periwayatannya (thariq al-riwayah).
3. Bab ketiga : Takhrij dan Studi Sanad, penelitian terhadap para perawi yang ada di sanad hadis tersebut, dari segi ‘adalah dan dhabth si perawi dan ittishal al-sanad.
4. Bab keempat : Kualitas Hadis Menurut Para Ulama, berisi pendapat para Ulama seputar hadis ini.
5. Bab kelima : Fiqh Hadis, berisi kandungan dan hikmah hadis.

2. HADIS SHALAT ARBAIN.
Sekarang marilah kita memulai pembahasan ini. Hadis yang menjelaskan Shalat Arbain di masjid Nabawi – setelah mencari di kitab-kitab induk hadis – ternyata diriwayatkan oleh Imam Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibani (w. 241 H) dalam Musnad-nya dari Sahabat Anas bin Malik r.a. hadis nomor 12583 dengan lafaz :
 مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً، لا يفُوتُهُ صَلَاةٌ، كُتِبَتْ لهَُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وََنجَاةٌ مِنَ اْلعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاق 
(رواه أحمد في المسند)

“Barangsiapa yang shalat di masjidku empat puluh kali dengan tanpa ketinggalan satu shalat pun maka ia ditetapkan bebas dari api neraka dan selamat dari siksa serta bebas dari kenifakan “.
Dan juga diriwayatkan oleh Imam Abu al-Qasim Sulaiman bin Ahmad al-Thabrani (w. 360 H) dalam kitabnya Al-Mu’jam al-Ausath pada entri perawi bernama Muhammad, dari Sahabat yang sama yaitu Anas bin Malik r.a. dengan lafaz yang sedikit berbeda :
 مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلَاةً لا يفُوتُهُ صَلَاةٌ، كَتَبَ اللَّهُ لهَُ بَرَاءَةً مِنَ النَّارِ، وََنجَاةً مِنَ اْلعَذَابِ
(رواه الطبراني في الأوسط)

“Barangsiapa yang shalat di masjidku empat puluh kali dengan tanpa ketinggalan satu shalat pun maka Allah akan menetapkannya bebas dari api neraka dan selamat dari siksa”.
Kedua jalur hadis ini – dari Imam Ahmad dan Imam al-Thabrani – memiliki rentetan perawi yang sama, karena keduanya meriwayatkan hadis ini dari al-Hakam bin Musa dari Abdurrahman bin Abu Rijal dari Nubaith bin ‘Umar dari Anas bin Malik dari Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam. Hanya saja ada satu perawi tambahan di jalur Imam al-Thabrani sebelum periwayatan beliau sampai ke al-Hakam bin Musa, yaitu Muhammad bin’Ali al-Madini. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di rentetan perawi dibawah ini disertai redaksi periwayatannya (shiyag al-ada’) :

Anas bin Malik r.a. -> Nubaith bin ‘Umar (عن) -> Abdurrahman bin Abu Rijal (عن) -> al-Hakam bin Musa (حدثنا)
dari sinilah rantaian sanad mulai bercabang menjadi dua jalur, pertama jalur Imam Ahmad bin Hanbal yang mana beliau langsung meriwayatkan dari al-Hakam bin Musa dengan redaksi periwayatan (حدثنا).

Jalur yang kedua diriwayatkan oleh Imam Abu al-Qasim al-Thabrani, yang mana sanad diatas berlanjut dari al-Hakam bin Musa -> Muhammad bin’Ali al-Madini (حدثنا) baru ke Imam al-Thabrani menggunakan shigah (حدثنا).

Itulah hadis Shalat Arbain dengan dua jalur periwayatannya beserta diagram rentetan para perawinya. Selanjutnya, bagaimanakah kualitas para perawinya? seperti apa biografi mereka? apakah sanad hadis ini muttashil ? jawabannya bisa kita lihat di bab selanjutnya.

3. TAKHRIJ DAN STUDI SANAD HADIS.
Pada bab sebelumnya kita telah mengetahui hadis Shalat Arbain beserta sanadnya, maka pada bab ini kita akan mengidentifikasi para perawinya tsiqah atau tidak, begitu juga sanadnya muttashil atau tidak. Oleh karena itu, didalam memaparkan biografi ini, kami hanya memfokuskan data-data tentang ittshal sanad mereka dan kritik para Ulama hadis tentang kualitas mereka dalam meriwayatkan hadis (al-jarh wa al-ta’dil). Langsung saja kita mulai dengan biografi narator pertama dalam proses transmisi hadis, yaitu Sahabat, kemudian seterusnya sampai ke Imam mukharrij.

3.1 Pembahasan Ittishal al-Sanad.
Anas bin Malik adalah pembantu Rasulullah s.a.w. selama sepuluh tahun, sejak Nabi hijrah ke Madinah sampai beliau wafat tahun 10 H, dan Anas bin Malik tatkala Nabi datang ke Madinah baru berumur sepuluh tahun sebagaimana pemaparan Imam Ibn ‘Abd al-Bar (w. 463 H) dalam al-Isti’ab. Anas bin Malik juga seorang Sahabat yang banyak meriwayatkan hadis, dua ribu dua ratus delapan puluh enam (2286) hadis itulah jumlah periwayatannya, peringkat ke tiga setelah Abu Hurairah dan ‘Abdullah bin ‘Umar, dari tujuh Sahabat yang meriwayatkan hadis lebih dari seribu. Maka untuk masalah ittishal sanad, tidak diragukan lagi bahwa Anas bin Malik salah satu Sahabat yang intens kepada Nabi s.a.w. Untuk tahun wafatnya, Imam Ibn al-Atsir al-Jazari (w. 630 H) pengarang kitab Usud al-Ghabah berkata : “Para Ulama berbeda pendapat tentang tahun wafatnya Anas bin Malik, Namun yang paling banyak disebutkan bahwa Anas bin Malik wafat pada tahun 93 H”.
Adapun perawi selanjutnya yaitu Nubaith bin ‘Umar, walaupun redaksi periwayatannya memakai lafaz ‘an (‘an’anah), namun Nubaith adalah murid Anas bin Malik dan pernah meriwayatkan hadis darinya, sebagaimana pernyataan Imam Abu Hatim Muhammad bin Hibban al-Busti atau yang lebih dikenal Ibn Hibban (w. 354 H) dalam kitabnya al-Tsiqat. Jadi, sanad dari Nubaith ke Anas bersambung, Allah ‘alam. Untuk Nubaith bin ‘Umar, kami tidak mendapatkan tahun wafatnya di kitab-kitab al-Rijal.
Perawi yang ketiga, Abdurrahman bin Abu Rijal masih menggunakan lafaz ‘an’anah. Akan tetapi Ibn Hibban dalam kitab dan halaman yang sama menyatakan bahwa Abdurrahman pernah meriwayatkan dari Nubaith bin ‘Umar. Diperkirakan Abdurrahman wafat antara tahun 181 sampai 190 H, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Dzahabi (w. 748 H) di dalam Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa al-A’lam dan Imam al-Shafadi (w. 764 H) di dalam al-Wafi bi al-Wafayat.

Sehubungan dengan tidak diketahuinya tahun wafat Nubaith bin ‘Umar, maka disini kami akan menggunakan pendekatan tahun, dengan cara menghitung berapa tahun paut antara tahun wafatnya Anas bin Malik r.a. dengan tahun wafatnya Abdurrahman dan membagi hasilnya menjadi dua, yang pertama menjadi jarak antara Anas dan Nubaith, yang kedua menjadi jarak antara Nubaith dan Abdurrahman, dengan ini kita bisa menetapkan kemungkinan bertemu imkan al-liqa’. Jarak antara wafat Anas (93 H) dan wafat Abdurrahman (190 H sebagaimana perkiraan diatas) adalah 97 tahun, lalu kita bagi dua menjadi 43 dan setengah tahun. Maka jarak Antara wafat Anas dan Nubaith itu kurang lebih 43 tahun setengah, begitu juga antara wafat Nubaith dengan Abdurrahman. Perbedaan semasa seperti ini pasti memungkinkan seseorang bertemu dan menerima hadis, karena rata-rata umur Umat Rasulullah s.a.w. itu 63 tahun. Itu sama seperti seorang santri yang baru berumur 15 tahun mengaji kepada seorang kiai yang sudah berumur 62 tahun, perbedaan umur keduanya adalah 47 tahun. Inilah yang disebut dengan imkan al-liqa’ yang diperbolehkan oleh Imam Muslim dalam menetapkan ittshal al-sanad. Maka bisa kita katakan bahwa sanad dari Abdurrahman sampai ke Anas bin Malik Muttashil (bersambung).
Perawi selanjutnya adalah al-Hakam bin Musa, perawi terakhir dalam jalur Imam Ahmad, yang keempat dalam jalur Imam al-Thabrani. Imam Jamaluddin al-Mizzi (w. 742 H) memasukkan Al-Hakam bin Musa kedalam orang-orang yang pernah meriwayatkan hadis dari Abdurrahman, ditambah dengan redaksi periwayatan yang digunakan oleh al-Hakam itu lafaz haddatsana yaitu lafaz tahdist yang mengindikasikan bahwa ia mendengarkan hadis dari gurunya secara lansung (al-sama’ ‘al al-syeikh), maka sudah bisa ditetapkan bahwa sanad diantara al-Hakam dan Abdurrahman muttashil. Al-Hakam wafat pada bulan Syawwal tahun 232 H.
Perawi yang terakhir adalah Muhammad bin ‘Ali al-Madini, dalam periwayatannya dari al-Hakam, beliau mendapatkan lafaz haddatsana,yang memastikan bertemu dengan gurunya (tsubut al-liqa’). Adapun Imam al-Thabrani, beliau cukup banyak meriwayat hadis dari Muhammad bin ‘Ali al-Madini, didalam jalur yang diriwayatkan oleh Imam Abu Nu’aim al-Ashfahani (w. 430 H) didalam kitab Ma’rifat al-Shahabah. Dan akhirnya, setelah pembahasan ini kita bisa katakan bahwasanya sanad hadis Shalat Arbain dengan kedua jalurnya bersambung dari Imam Ahmad dan Imam al-Thabrani sampai Rasulullah s.a.w, Allah a’lam.

3.2 Pembahasan Kritik Para Perawi.
Disini kami akan menyebutkan kritik-kritik dari para Ulama kritikus hadis tentang kualitas para perawi, tsiqah atau tidaknya. Sehingga pada akhirnya kita bisa menentukan apakah hadis ini sahih (otentik) atau tidak. Langsung saja kita mulai dari Sahabat Anas bin Malik r.a., disini kita tidak menemukan kecuali satu buah kritik, yaitu bahwa Anas adalah seorang Sahabat, dan seluruh Sahabat baik tua atau muda, laki-laki atau perempuan, yang terkena fitnah atau tidak (sebagaimana terjadi sejak terbunuhnya Amirul Mu’minin ‘Utsman r.a.) semuanya ‘adil dan tsiqah, periwayatannya diterima meskipun biografinya tidak diketahui. Justifikasi terhadap Sahabat ini sudah menjadi sebuah prinsip dalam ilmu hadis. Kesimpulannya, narator pertama dalam semua sanad hadis, yaitu Sahabat adalah tsiqah.
Nubaith bin ‘Umar, perawi berikutnya. Kami tidak menemukan kritik terhadap Nubaith kecuali dari Imam Ibn Hibban yang memasukannya kedalam kelompok tsiqah, yaitu dalam kitabnya al-Tsiqat. Selanjutnya adalah Abdurrahman bin Abu al-Rijal. Menurut Imam Abu Hatim : “ Dia adalah seorang yang shalih (layak)”, sedangkan Imam Ibn ‘Adi al-Jurjani mengatakan : “la ba’sa bih (tidak apa apa)”. Imam Ibn Hibban menyebutkannya dalam al-Tsiqat namun setelahnya ia berkata : “rubbama akhtha’ (terkadang salah)”. Adapun al-‘Asqalani, beliau mengkritik : “shaduq rubbama akhtha’” (jujur namun terkadang salah). Sedangkan menurut Ibn Ma’in beliau itu tsiqah.
Perawi yang keempat adalah al-Hakam bin Musa, Imam Abu Hatim berkata : “shaduq (jujur)”, Imam Ibn Hibban dan Imam Abu al-Hasan al-‘Ijli (wafat 261 H) menyebutkannya dalam al-Tsiqat. Al-‘Asqalani berpendapat : “shaduq”, sedangkan al-Dzahabi berpendepat dengan pendapatnya Yahya bin Ma’in, yaitu : “tsiqah (terpercaya)”. Yang terakhir adalah Muhammad bin ‘Ali al-Madini, beliau dianggap tsiqah oleh Imam al-Khatib al-Baghdadi dan Imam Ibn Qani’. Maka selesailah kritik lima perawi hadis Shalat Arbain ini, dan bisa kita ambil kesimpulan – setelah menimbang kritik-kritik Ulama yang ada – bahwa semua perawi hadis ini tsiqah, Allah a’lam.
Itulah Analisa kami didalam pembahasan ittishal al-sanad dan kritik para perawi hadis Shalat Arbain dengan merujuk kitab-kitab Rijal yang ada. Pada bab selanjutnya kami akan sebutkan pendapat para Ulama tentang hadis ini agar kita lebih yakin untuk mengambil kesimpulan akan kualitas hadis dan dudukan permasalahan ini, Allah a’lam.

4. KUALITAS HADIS MENURUT PARA ULAMA.
Setelah mentakhrij hadis ini secara manual di bab kedua, dan melakukan studi sanad hadisnya juga secara manual di bab ketiga, dan tidaklah kami lakukan kedua ini kecuali untuk mengaplikasi ilmu hadis yang ada dan ingin mengetahui – walaupun sedikit dan berbeda jauh – bagaimana susahnya para Ulama dalam menjaga kemurnian hadis Rasulullah, meneliti sanad hadis sebelum menerimanya, mencari sanad ‘ali (tinggi) dan sebagainya. Maka pada bab keempat ini kami akan menyebutkan langsung kritik-kritik para Ulama seputar hadis ini.

4.1 Pendapat Yang menshahihkan
Imam al-Haitsami (w. 807 H) - setelah menyebutkan hadis ini – berkata : ” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam al-Thabrani di al-Mu’jam al-Ausath, dan seluruh perawinya tsiqah”. Sama juga halnya, kritik Imam al-Mundziri (w. 656 H) didalam al-Targhib wa al-Tarhib, beliau berkata : “Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para perawinya adalah para perawi hadis sahih, Imam al-Thabrani juga meriwayatkan hadis ini di al-Mu’jam al-Ausath”. Al-‘Asqalani (w. 852 H) pun mengakui bahwa salah satu dari para perawinya, yaitu Nubaith bin ‘Umar disebutkan oleh Imam Ibn Hibban dalam al-Tsiqat, sebagaimana kami jelaskan sebelumnya. ‘Athiyyah Salim juga menyetujui pendapat ini, kemudian membantah pendapat yang mendha’ifkannya, beliau berkata : “Adapun masalah Nubaith (karena Nubaith adalah hujjah sebagian Ulama untuk mendha’ifkan hadis ini), sesungguhnya Ibn Hibban, al-Mundziri, al-Baihaqi (w. 458 H) dan Ibn Hajar telah sepakat akan ke-tsiqah-an Nubaith, dan tidak ada dari Ulama dalam bidang ini (al-Jarh wa al-Ta’dil) yang men-jarah (kritik negatif) tentang Nubaith. Maka tidak layak bagi siapapun untuk menkritik dan mendha’ifkan perawi yang telah dianggap tsiqah oleh para Ulama yang terpercaya ini, yang mana mereka ini tidak pernah ditentang oleh para Ulama al-Jarh wa al-Ta’dil”.

4.2 Pendapat Yang Mendha’ifkan.
Kami tidak mendapatkan Ulama yang mendha’ifkan hadis ini kecuali Syeikh Nashiruddin al-Albani (w. 1420 H) didalam Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah : “ Sanad hadis ini dha’if, karena salah satu perawinya yang bernama Nubaith, ia tidak pernah meriwayatkan kecuali hadis ini. Adapun penyebutannya di al-Tsiqat Ibn Hibban, itu karena kaidah Ibn Hibban yang selalu men-tsiqah-kan para perawi yang majhul (seseorang yang tidak pernah diriwayatkan hadisnya kecuali oleh satu orang), dan inilah yang kemudian dijadikan pegangan oleh Imam al-Haitsami didalam kitabnya Majma’ al-Zawaid sehingga beliau bisa mengatakan “ Dan para perawinya tsiqah (kredibel)”. Sedangkan perkataan al-Mundziri di al-Targhib “ Dan para perawinya adalah perawi hadis shahih” merupakan sebuah kesalahan fatal karena Nubaith sama sekali bukan perawi hadis shahih, bahkan Imam enam (al-Aimmah al-Sittah) yang lain tidak pernah meriwayatkan hadis dari Nubaith”.
Itulah dua pendapat para Ulama tentang hadis ini, kami sendiri lebih condong ke pendapat yang pertama, yaitu menshahihkan. Kalaupun ada yang mendha’ifkan, kita jangan lupa bahwa hadis ini bukan membahas hukum, halal dan haram, ataupun akidah yang mana ilmu hadis memperketat ruang didalamnya. Akan tetapi hadis ini membahas tentang fadha’il al-a’mal yang mana didalamnya boleh mengamalkan hadis dha’if dengan syarat : pertama, kedha’ifannya tidak parah, yang kedua, kandungan hadis tidak bertentangan dengan dasar ibadah yang telah diamalkan. Hadis ini – kalau kita memegang pendapat yang mendha’ifkan – ringan kedha’ifannya, karena kritik hanya ada di Nubaith yang majhul, dan praktik hadis ini adalah membiasakan diri dan memperbanyak shalat berjamaah dimasjid, tidak bertentangan sama sekali dengan ibadah yang lain, maka tidak ada masalah untuk menggunakan hadis dalam fadha’il al-a’mal. Adapun syarat yang ketiga, tatkala seseorang mengamalkan hadis dha’if, ia tidak boleh yakin sepenuhnya bahwasanya hadis ini benar-benar datang dari Nabi, akan tetapi hendaknya ia meyakini karena hati-hati (al-ihtiyath), takut-takut hadis ini dari Rasulullah s.a.w. Maka kesimpulannya, hadis ini adalah hadis shasih, kalaupun ada yang mendhaifkannya, hadis ini tetap bisa diamalkan.

5. FIQH HADIS
Setelah melakukan studi dan kritik sanad hadis di bab ketiga dan mengetahui pendapat para Ulama akan kualitas hadis ini di bab keempat, maka kita bisa mengatakan dimasukkan kedalam surga-Nya, Amin ya Mujib al-Sa’ilin.

Inilah apa yang bisa kami tulis, dipenuhi banyak kesalahan dan kekurangan. Tidaklah kami menulisnya melainkan sebagai catatan singkat bagi kami dan orang-orang awam seperti kami. Al-hamd lillah rabb al-‘alamin wa al-shalah wa al-salam ‘ala sayyid al-mursalin wa alihi wa shahbihi ajma’in.

DAFTAR REFRENSI
1. Ibn ‘Abd al-Bar, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab, (2010) al-Maktabah al-‘Ashriyah, Beirut.
2. Muhammad al-‘Utsaimin, Mushthalah al-Hadits
3. Ibn al-Atsir ‘Izzuddin al-Jazari, Usud al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, (2003) al-Maktabah al-Taufiqiyah, Kairo – Mesir.
4. Ibn Hibban al-Busti, al-Tsiqat, (1998) Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut.
5. Al-Dzahabi, Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Masyahir wa al-A’lam, (1990) Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut.
6. Al-Shafadi, al-Wafi bi al-Wafayat, (2010) Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut.
7. Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, Muassasah al-Risalah Nasyirun.
8. Al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, (2007) Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut.
9. Al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi, (1433 H) Dar Ibn al-Jauzi, Riyadh.
10. Ibn ‘Adi al-Jurjani, al-Kamil fi al-Dhu’afa, (2012) al-Risalah al-‘Alamiyah.
11. Al-Dzahabi, Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal, (2009) Dar al-Risalah al-Alamiyah, Damasqus – Hijaz.
12. Al-‘Asqalani, Taqrib al-Tahdzib, Dar al-‘Ashimah, Riyadh.
13. Ibn Abu Hatim al-Razi, al-Jarh wa al-Ta’dil, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut.
14. Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, ‘Alam al-Kutub, Beirut.
15. Abu al-Qasim al-Thabrani, al-Mu’jam al-Ausath, Dar al-Fikr, Oman – Yordania.
16. Al-Mundziri, al-Targhib wa al-Tarhib, (1417 H) Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut.
17. Al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid, (1994) Maktabah al-Qudsi, Kairo.
18. Al-Albani, Silsilah al-Ahadits al-Dha’ifah, (2001) Maktabah al-Ma’arif.
19. Ibn Taimiyah, Majmu’ fatawa Syaikh al-Islam, (2011) Dar Ibn Hazm, Beirut.
20. Abu Nu’aim al-Ashfahani, Ma’rifah al-Shahabah, (2011) Dar al-Wathan, Riyadh.
21. Muhammad Ilyas ‘Abd al-Ghani, Tarikh al-Masjid al-Nabawi al-Syarif, (2003) Al-Rasyid, Madinah.
22. Mahmud al-Thahhan, Taisir Mushthalah al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut – Libanon.
23. Abu Bakr al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, (2008) Dar Ibn Hazm.