Jumat, 28 Februari 2014

Imam Khumaini Manusia Hiperseks

Imam Khumaini  - la’natullah ‘alaih - , pemimpin tertinggi Ulama Syiah adalah salah satu contoh dari Ulama Syiah yang “gila”, yang hampir setiap harinya melakukan perzinaan, dan lebih hinanya mereka melegalkan perzinaan itu dengan sebutan “nikah mut’ah” dan atas nama agama. Ulama Syiah mempraktikkan perzinaan ini dengan perempuan-perempuan mereka dalam jumlah yang banyak dan dalam tempo yang sering. Dan lebih tercela lagi, mereka tidak mempraktekkannya kepada wanita dewasa saja, seringkali mereka menghinakan anak dibawah umur dengan nafsu berahi meraka itu, na’udzu billah.

Disini, penulis ingin membawakan kisah nyata tentang kegilaan seorang Imam Khumaini, dikisahkan oleh salah satu muridnya sendiri, merupakan seorang Ulama Syiah di Najf, Iraq, yang kemudian mendapat petunjuk keluar dari agama Syiah dan Masuk agama Islam (karena memang Syiah bukan bagian dari Islam). Beliau bercerita tatkala berpergian bersama Imam Khumaini, berikut kisahnya: “Sepulangnya Imam Khumaini dari kota Telafir, sebuah kota di Iraq sebelah barat kota Maushil, seusai memenuhi undangan sebuah komunitas Syiah disana. Imam Khumaini mengajak kami untuk melepas penat perjalanan selama di Iraq, untuk berkunjung ke seorang kerabat dekatnya yang bernama Sayyid Shahib di kota ‘Uthaifiyyah.

Setibanya kita ditempat, Sayyid Shahib sangat senang sekali kemudian menyuguhkan hidangan makan siang yang mewah. Sayyid Shahib juga menelepon keluarga besarnya untuk hadir ke rumah demi memuliakan tamu besar, Imam Khumaini. Datanglah keluarga besarnya satu persatu hingga datang waktu makan malam, mulailah kita makan bersama. Kesenangan menyelimuti kita ketika itu. Para hadirin menciumi tangan Imam Khumaini sebagai penghormatan dan pengagungan, kemudian bercengkeramah dengannya dan bertanya beberapa masalah, Imam Khumaini menjawabnya. Kemudian Sayyid Shahib meminta kepada Imam Khumaini untuk menginap dirumahnya.

Ketika malam telah larut, keluarga Sayyid Shahib telah pulang ke rumah mereka masing-masing, rumah pun kosong, yang tersisa hanya tinggal penghuni rumah. Tidak disengaja Imam Khumaini melihat anak perempuan Sayyid Shahib yang masih kecil, berumur sekitar empat sampai lima tahun, namun sudah memiliki wajah yang sangat cantik. Ternyata, Imam Khumaini jatuh hati dengan kecantikan balita tersebut, bangkitlah nafsu berahinya. Tiba-tiba beliau meminta izin kepada ayahnya yaitu Sayyid Shahib sendiri untuk memut’ah balitanya itu. Dan sekali lagi mengherankan kami, Sayyid malah mengizinkannya dengan sangat gembira. Maka tidurlah anak balita itu dipangkuan Imam Khumaini. Beliau menghabiskan malam dikamar itu, bersenang-bersenang dengan tubuh balita itu, menciumnya dan melakukan tafkhidz (memasukkan kemaluannya diantara kedua pahala balita itu, na’udzu billah). Sepanjang malam kami dan keluarga mendengar jeritan dan tangisan anak kecil itu dari luar kamar.”

Beliau lanjut bercerita: “keesokan hari, Sayyid Husain – salah satu murid Imam Khumaini yang ikut dalam perjalanan – bertanya kepadaku “ bagaimana hukum bermut’ah kepada anak kecil ?” Sayyid Husain bertanya seperti itu lantaran melihat wajah kami yang masam karena peristiwa kemarin malam. Oleh karena itu, pastilah kami tidak mau menjawab, karena pertanyaan itu memang bukan untuk saya jawab. Kemudian Sayyid Husain melanjutkan pembicaraanya: “ bermut’ah dengan anak kecil itu boleh, tapi hanya sekedar bersenang-senang, mencium dan tafkhidz (telah lewat definisinya diatas), adapun sanggama, anak kecil belum kuat untuk menahannya”.

Sungguh perkataan yang sangat keji dan biadab keluar dari mulut orang yang mengaku beragama Islam, bahkan mengaku sebagai Ulamanya. Jauh lebih biadab dari itu, Imam Khumaini sendiri – pemeran kisah diatas – pernah berkata dalam bukunya Tahriru Wasilah perkataan yang konyol, memalukan setiap orang yang berakal ketika mendengarnya, bertentangan dengan norma kemanusiaan secara mutlak, dan tidak akan diterima oleh agama manapun didunia, beliau berkata: ”Boleh bermut’ah dengan anak kecil yang masih disusui oleh ibunya (umur dua tahun kebawah)”, na’udzu billah min dzalik.


Ditulis oleh Ibnu Abdillah Al-Madani (Selasa, 19 Rabi'ul Awwal 1435 H)