Selasa, 16 September 2014

Apakah Suara Wanita Termasuk Aurat?



Para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya suara wanita, termasuk aurat atau tidak. Namun, mayoritas ulama berpendapat bahwa suara wanita bukanlah aurat, dan inilah pendapat yang benar, sebagaimana telah disinggung oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’. Salah satu dalil bahwa suara perempuan bukanlah aurat adalah periwayatan Ummul Mukminin Aisyah r.a., beliau tidak meriwayatkan hadis-hadis tersebut dengan menuliskannya dalam bentuk tulisan, namun menyampaikannya langsung secara lisan kepada para sahabat Rasulullah s.a.w.. Apalagi ‘Aisyah salah satu Sahabat terbanyak dalam meriwayatkan hadis, genap dua ribu dua ratus sepuluh (2210) hadis yang telah beliau riwayatkan, yang mendudukkannya pada posisi keempat para Sahabat yang banyak meriwayatkan hadis.

Dalil berikutnya adalah tatkala Rasulullah SAW meluangkan satu hari khusus untuk mengajarkan secara langsung ilmu-ilmu agama kepada para wanita muslimah saat itu, Rasulullah SAW mengajar tanpa perantara istri-istri beliau. Beliau SAW secara langsung berdialog lisan dengan para wanita yang ingin belajar kepada beliau SAW. Sebagaimana dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadis no. 101) dari Sahabat Abu Sa’id al-Khudri r.a. :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَتْ النِّسَاءُ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَنَا عَلَيْكَ الرِّجَالُ فَاجْعَلْ لَنَا يَوْمًا مِنْ نَفْسِكَ فَوَعَدَهُنَّ يَوْمًا لَقِيَهُنَّ فِيهِ فَوَعَظَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ فَكَانَ فِيمَا قَالَ لَهُنَّ مَا مِنْكُنَّ امْرَأَةٌ تُقَدِّمُ ثَلَاثَةً مِنْ وَلَدِهَا إِلَّا كَانَ لَهَا حِجَابًا مِنْ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ وَاثْنَتَيْنِ فَقَالَ وَاثْنَتَيْنِ.

“Dari Abu Sa'id Al Khudri; kaum wanita berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "kaum lelaki telah mengalahkan kami untuk bertemu dengan engkau, maka berilah kami satu hari untuk bermajelis dengan engkau" Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjanjikan satu hari untuk bertemu mereka, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memberi pelajaran dan memerintahkan kepada mereka, diantara apa yang disampaikannya adalah: "Tidak seorangpun dari kalian yang didahului (ditinggal mati) oleh tiga orang dari anaknya kecuali akan menjadi tabir bagi dirinya dari neraka". Berkata seseorang: "bagaimana kalau dua orang?" Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Juga dua".


Namun, walaupun bukan aurat, suara wanita bisa menimbulkan fitnah atau godaan bagi kaum pria. Salah satu bukti yang konkret adalah pelarang wanita untuk mengumandangkan adzan dan iqomah, begitu juga mengeraskan suara ketika sholat dihadapan para pria. Kemudian tatkala imam sholat melakukan kesalahan dalam berjamaah, perempuan tidak boleh menegur imam secara langsung dengan lisan, perempuan hanya diperintahkan untuk menepuk tangan sebagai ganti dari teguran lisan. Begitu juga dalam masalah membaca talbiyah tatkala menunaikan ibadah haji atau umroh, seorang wanita tidak diperintahkan mengangkat suaranya seperti pria. Semua rumusan agama ini adalah demi tidak terjadinya fitnah bagi kaum pria.

Akan tetapi,  tatkala diperlukan seperti untuk belajar atau mengajar sebagai fenomena yang disebutkan dalam hadis diatas, bertransaksi jual-beli atau yang lainnya, seorang wanita diperbolehkan berbicara dengan seorang lelaki yang bukan mahramnya dengan syarat tidak  memerdukan suaranya, dan tidak bergaya dengan gaya bicara yang tidak sewajarnya sehingga menimbulkan fitnah dan merangsang lelaki tersebut, sesungguhnya yang seperti itu haram hukumnya. Dalam surat Al-Ahzab ayat 32, Allah SWT berfirman:

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا (الأحزاب: 32)

"wahai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu `tunduk` dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada `penyakit dalam hatinya` dan ucapkanlah perkataan yang baik."

Yang dimaksud dengan tunduk dalam berbicara ialah melembutkan dan memerdukan suara, sebagaimana ditafsirkan oleh Imam Ibnu Katsir. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang didalam hati mereka terdapat  penyakit ialah: orang yang mempunyai niat berbuat tidak senonoh dengan wanita tersebut, seperti zina.

kesimpulannya, seorang perempuan sah-sah saja berbicara dan menyampaikan keperluannya secara langsung dengan lawan jenis sejauh tidak membawa dampak negatif. Tapi sekali lagi, yang perlu digaris bawahi, hendaknya ia tidak membuat-buat suara, melembutkan, memerdukan atau mendesah-desahkannya ketika berbicara. Yang demikian untuk menghindari adanya fitnah dan madharat atau efek negatif lainnya. Wallahu a`lam.

Nur Muhammad Iskandar
Madinah, Ahad, 21 Dzulqa'dah 1435 H / 15 September 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar