Seorang
ulama besar dari Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang
Namanya Almarhum
KH. Abdul Wahhab Hasbullah
Beliau
termasuk salah satu yang dianugerahi gelar Pahlawan Nasional
Kita baca di
Koran-koran, di majalah-majalah, apa alasan beliau diberi gelar pahlawan
nasional yang merupakan kelanjutan dari gelar pahlawan nasional yang pernah diberikan
kepada Hadhratusy Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, dan itu sudah lama sekali
Karena KH.
Abdul Wahhab Hasbullah itu ikut menyusun, bikin draft fatwa, waktu itu namanya
resolusi fatwa jihad, yang dikeluarkan pada tanggal 24 Oktober tahun 1945
Kalau mengutip
penuturan kawan-kawan Bung Tomo, masih hidup ada sekarang, pak Asril Sutan Amir
dari Sumatera Barat, satu kelas, karena Bung Tomo belakangan kuliah di Fakultas
Ekonomi, dan sampai menjadi Sarjana Ekonom, itu pernah bertanya pak Asril, “Tom
itu kamu kenapa sih sampai semangat mengobarkan perang sampai muncul kemudian
10 November” Bung Tomo mengatakan saya waktu itu sowan kyai di Jawa Timur,
Tebuireng, Lirboyo dan sebagainya, semuanya mengatakan Umat Islam Indonesia,
Bangsa Indonesia wajib berjihad melawan Belanda
Nah dari
situlah kemudian, November kemarin Kyai Wahab Hasbullah yang ikut menyusun
naskah jihad itu mendapat gelar sebagai pahlawan nasional
Ada 3 poin
dari fatwa jihad itu:
1. Bahwa Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 adalah Negara yang
sah menurut hukum Islam,
kalau nggak sah ulama nggak perlu berfatwa lagi
untuk apa membela Indonesia
2. Bahwa Islam tidak memisahkan antara negara dan
agama
Kelihatannya
fatwa jihad, diambil dari kitab-kitab fikih, kalau anda baca kitab-kitab
seperti fathul qarib
Kalau musuh
masih diluar masaafatul qashr, 80 km, itu berjihad hukumnya fardhu kifayah
Tetapi kalau
sudah masuk masaafatul qashr radius 80 km, fardhu ‘ain
Itu kata-kata
kitab fikih
Lah ketika
ulama sudah mengatakan fardhu, wajib berjihad, itu dua sisi
Satu sisi
menjalankan ajaran agama, satu sisi membela Negara Kesatuan Republik Indonesia
Hanya saja
kalau kita lihat, baca-baca di buku sejarah maka akan sulit mendapatkan fatwa
jihad disana
Kita harus
tahu bahwa yang namanya sejarah bukan apa yang tertulis, tapi adalah apa yang
terjadi
3. Ini membuktikan bahwa apa
yang dilakukan oleh para ulama, khususnya yang di Jawa Timur waktu itu, sampai
meletus perang 10 November, itu adalah sebuah jihad dan bukan terorisme, dan
Bung Tomo ketika mengobarkan semangat jihad itu apa yang disampaikan? Allahu
Akbar, bukan dengan lagu-lagu ludruk, ya tidak, padahal orang Jawa Timur itu
kan,
Inilah
makanya, Indonesia itu adalah negara kita, saya tahu ada sebagian dari kita
juga kadang-kadang tidak terlalu peduli, mengapa kita harus peduli? Karena
Indonesia adalah wilayah dakwah kita, makanya ada orang-orang yang mengatakan
kita ini apakah orang Indonesia yang beragama Islam atau orang Islam yang
tinggal di Indonesia?
Itu
memberikan konsekuensi yang berbeda itu
apakah kita
ini orang Indonesia yang beragama Islam atau orang Islam yang tinggal di
Indonesia?
Kalau saya
boleh menjawab
Berbeda
urusan lain tapi kan saya punya hak untuk menjawab
“Saya adalah
orang Islam yang sekarang sedang tinggal di Indonesia, dan sekarang sedang
berwarganegara Indonesia” mengapa saya katakan saya orang Islam? Karena sejak
ruh saya itu sudah muslim, Ketika Allah menanyakan “Alastu birabbikum?” Anda hafal sekali ayatnya kan? Bala Syahidna,
Kami bersaksi bahwa kamu adalah Tuhan kami , jadi sebelum dipertemukan antara
jasadnya ali musthafa ya’qub dengan ruhnya itu, ruh saya sudah muslim insya
Allah, dan semua ruh begitu, anda juga begitu, kemudian tanggal 2 Maret tahun
52, anda belum lahir, kami lahir di dunia, kami lihat, ketika lahir, cerita
keluarga saya, diadzani di telinga kami, nah itu tanda sebagai orang islam nah
itu kan, kedua, seminggu kemudian, diberi nama, ali musthafa, ada mencukur
rambut, ada nyembelih kambing, dan sebagainya, pelaksanaan ajaran islam, baru
seminggu kemudian ya orang tua datang ke pak carik, kalau di Pekalongan namanya
pak carik, sekertaris desa, mendaftarkan saya yang sebagai orang yang lahir,
nah sejak itulah mulai saat itu, itu saya jadi orang Indonesia, nah sebelumnya
jadi muslim dulu, nah sebagai muslim, in sya Allah sampai mati tetap muslim,
mudah-mudahan, tapi sebagai orang Indonesia, boleh jadi saya tinggal di tempat
yang bukan Indonesia, saya pernah tinggal disini 9 tahun, pernah tinggal di
Eropa, di Belanda, di London, hanya meskipun beberapa bulan, pernah tinggal di
Amerika, dan mungkin bisa saja saya mati bukan di Indonesia, itu mungkin saja
terjadi, tapi saya perhatikan, baik ketika tinggal di Indonesia maupun di Saudi,
di Eropa, di Amerika, saya perhatikan, apakah ada aktivitas saya selama 24 jam
dalam satu hari yang bertentangan dengan undang-undang setempat, saya
perhatikan nggak ada yang bertentangan sama sekali, saya bangun jam 5 pagi
sembahyang, mana ada undang-undang yang melarang seperti itu, jangankan di
Indonesia, di Amerika juga nggak dilarang kok itu kan, jadi nggak ada, makanya
ada satu poin yang merupakan sebuah rahmat di Indonesia, sebuah kenikmatan, apa
itu, dalam Undang-undang disebutkan, bahwa Negara menjamin warganya untuk
menjalankan ajaran agamanya dan kepercayaannya itu, ini sebuah kenikmatan, maka
pernah saya ditanya oleh seorang wartawati dari India dan wartawan dari
Myanmar, apa dia mengatakan, Indonesia itu adalah mayoritas muslim, tetapi dua-duanya
mengatakan apa, tidak ada sebuah konflik yang berlarut-larut atau signifikan
antar umat beragama di Indonesia, mungkin mereka bertanya kenapa? Di India itu
konflik beragama itu sampai sekarang nggak hilang-hilang, padahal sebelum
merdeka, bahkan Pakistan pisah dari India kenapa? Karena masalah agama, di
Myanmar anda sendiri tahu sekarang, pembantaian, tapi di Indonesia, mayoritas
yang muslim tidak pernah membantai yang minoritas, jawaban saya apa? Memang
ajaran Islam menghendaki demikian, Islam mengakui eksistensi agama-agama lain
bahkan menghormati eksistensi tanpa mengakui kebenaran ajaran agama
masing-masing dengan prinsip lakum dinukum waliyadin.
Dan ini
sebenarnya sudah merupakan bukan masalah politik
Kalau orang
Indonesia bilang lakum dinukum waliyadin itu ajaran agama, bukan faktor politis
Sama sekali
tidak.
Kalaupun
politis mungkin berbeda waktu mungkin berubah lagi, tapi ini sudah terpatri
dalam al-Qur’an
Sudah
terpatri dalam hadis riwayat Imam Ibnu Hisyam dalam as-Sirah an-Nabawiyyah
Wa inna yahuuda
bani ‘auf ummatun ma’al mu`miniin
Masya Allah
Rasul
mengatakan:
Wa inna
yahuuda bani ‘auf ummatun ma’al mu`miniin
Lahum
diinuhum walil mu’miniina diinuhum
Yahudi-yahudi
dari Bani ‘Auf adalah “satu bangsa” dengan orang Islam, dengan orang mu’min, bagi
orang Yahudi agama mereka, bagi orang Islam agama mereka
Ini terpatri
lakum dinukum waliyadin
Apa artinya?
Bagi non
muslim kamu silahkan mengerjakan ajaran agama anda di tempat-tempat anda, kami
tidak akan mengganggu, sebaliknya orang islam di tempat-tempat orang Islam
punya hak untuk menjalankan ajaran agamanya, sementara orang non muslim nggak
boleh mengganggu, ini prinsip agama, bukan prinsip politis.
Mungkin dibanding
dengan India dan Myanmar berbeda.
Makanya di
Istiqlal anda pernah ke Istiqlal kan?
Istiqlal itu
berhadapan hanya beda beberapa meter aja dipisah dengan Gereja Katedral, hari
Ahad kita sedang tahiyyat, tasyahhud, salat dhuhur, kalau tahiyyat kan khusyu’,
hening gitu kan, tiba-tiba terdengar “teng teng teng teng” dari gereja itu, apa
sikap umat islam itu? coba, ya lakum dinukum waliyadin, ya biarlah mereka
klontengan dengan gerejanya kita tahiyyat sendiri,
Sebaliknya
mereka juga demikian, ketika mereka sedang melakukan kebaktian, adzan
berkumandang “Allahu Akbar Allahu Akbar”, ini konsekuensi kita hidup dalam
kemajemukan, ta’addud ad-diyaanaat, hidup dalam pluralitas agama, bukan
pluralisme agama, plurality of religions adalah kenyataan bahwa di suatu
kawasan banyak berbagai agama, bagaimana sikap Islam? Mengakui dan menghormati eksistensi
agama lain tanpa mengakui kebenarannya,
itu yang terjadi pada masa Rasulullah, berapa agama di masa Rasulullah? Ada
Islam, ada Yahudi, ada Nasrani, ada Majusi, dan agama-agama paganisme, minimal
itu lima, bahkan, yang paganisme kalau dibagi-bagi menjadi banyak itu, dari
segi ini, sama dengan negeri kita, saya sampaikan kepada karyawan-karyawan
istiqlal yang jumlahnya ada 300 orang, bagaimana sikap kita? Ya biar aja
mereka, kalau kita tidak ingin terganggu dengan suara bunyi lonceng gereja,
boleh tapi jangan tinggal dengan orang lain, tinggal dimana? Di hutan, itu
tidak ada gangguan lagi, tapi di hutan kita akan terganggu dengan suara monyet,
karena monyet itu punya hak, hak asasi namanya hak asasi monyet, ini
konsekuensi, Islam mengajarkan seperti ini, makanya inilah barang kali yang
perlu kami sampaikan kepada kalau boleh saya memanggil anak-anak juga boleh
wong kamu itu umurnya seperti anak saya, bangsa likuran, saya sudah 63 tahun,
atau adik-adik.
Belajarlah
agama islam sebaik-baiknya dengan metode-metode yang akademis, diluar akademis
boleh, tapi melihat siapa yang mengajar dulu, waktu saya di Riyadh dulu, di
samping saya belajar di King Saud University, jadi waktu itu kami belajar
dengan Syaikh Bin Baz, mendengarkan pengajian hadis kutubus sittah, habis isya,
disini juga, Masjidil Haram juga boleh seperti itu, tetapi jangan belajar di
luar akademis yang belum jelas juntrungannya siapa orangnya itu, ini
salah-salah akan membawa hal-hal yang tidak bagus, saya hampir berkesimpulan
dan mudah-mudahan kesimpulan itu benar, saya berbicara dengan kawan-kawan di
King Saud, termasuk yang sekarang sudah jadi Profesor, Doktor, sebagainya,
selama pelajar-pelajar itu belajar di dunia akademis insya Allah itu manhajnya
jelas, nggak ada masalah, kalau ada nanti masalah itu coba nanti perhatikan
mesti diluar akademi, dan saya pantau sekali siapa khirrij al-mamlakah itu,
Alhamdulillah selama ini ya saya lihat baik-baik saja, ya meskipun sebagian ada
yang keras, tetapi tidak sampai radikal dalam pengertian sampai fisik dan
sebagainya, kecuali beberapa orang yang masih yang nggak jelas ilmunya itu,
makanya selesaikanlah, saya sering berpesan itu, jangan pulang sebelum
menggondol Doktor dari sini, kira-kira begitu, jangan baru semester 3 sudah
pulang, ngaku sebagai mujtahid, ini ada seperti itu, maka kalau saya menasehati
anda kan pantes-pantes, saya ini kan abangnya,
Yang kedua,
saya ingin anda-anda ini ilmunya bukan hanya bermanfaat tetapi penuh berkah,
saya amati kawan-kawan ini, belajar di Saudi Arabia, di Mekkah, Madinah dan
Riyadh itu, itu ada kelebihannya tapi ada kekurangannya, kalau kita nggak bisa me-manage masalah ilmu
kita nggak akan berkah, apa itu? Kita nggak memikirkan apa-apa kecuali belajar
aja, beasiswa diberi, waktu saya di tingkat bakaluriyus, tingkat S1, itu diberi
hanya 325 riyal, sekarang sampean berapa coba? 850 riyal, sudah luar biasa itu,
saya kadang-kadang jadi kepingin jadi mahasiswa lagi kok, kalo 850, saya
mungkin nikah 2 orang,
Ini yang
pertama ya
Maka
sebetulnya belajar di Saudi itu, nggak usah mikir apa lagi sudah itu, tapi
kekurangannya di Saudi itu godaannya berat, godaan apa itu? material, terus
terang, baik di Riyadh, Madinah maupun Mekkah, kalau Mekkah – Madinah godaannya
apa? Narik jemaah umrah, musim haji narik jemaah haji, di Riyadh nggak ada,
secara umum Riyadh nggak ada, jemaah haji jemaah umrah nggak ada, tapi bisa
kerja di mall-mall itu, di toko-toko itu, itu di Riyadh itu, kalau nggak bisa
me-manage itu bisa jatuh pada godaan itu, dan saya perhatikan, kawan-kawan dulu
sudah dapat beasiswa tapi masih kerja juga, iya kan? Banyak, termasuk di
Madinah-Mekkah itu, apa alasan mereka? “Apa ada larangan pak orang dapat ilmu
juga dapat duit?” Lho kan, “Apa ada larangan seperti itu?” memang cari
undang-undangnya nggak ada gitu lho, tapi saya kemudian mengamati, mereka yang,
kecuali kalau misalnya ya, waktu libur, musim panas, libur, nggak pulang,
libur, mungkin aja, nggak akan ganggu studi itu, ternyata yang mereka kerja dan
sekolah, belajar, itu ijazah dapat juga, tapi ilmunya nggak ada berkahnya sama
sekali, kenapa? Karena dia sudah punya sifat yang thoma’, nggak cukup dengan beasiswa,
kalau dia punya anak masih pantas ya, ini nggak punya anak nggak punya istri,
tapi karena kesempatan cari duit ada, terbuai dengan godaan seperti itu, sampai
di rumah saya lihat, masya Allah, ada juga kawan yang di luar Indonesia, juga
tidak berkah ilmunya, pulang tidak mengajarkan jadi ustadz, mengajar jadi kyai,
jadi ulama, tapi jadi apa? Malah pulang buka travel, lho kita ilmunya gimana
tanggung jawab nanti di akhirat? Kalau mau buka travel ngapain sekolah sampai
disini 10 tahun, nggak usah ke sini buka travel di Jakarta juga bisa gitu kan,
inilah barang kali saking sayangnya saya kepada anda, saya sampai melihat
seperti itu karena anda sebagai adik-adik saya, baik barang kali itu sebagai tambahan pak
kepala, mudah-mudahan ada manfaatnya, Wallahul Muwaffiq, Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakaatuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar